Jumat, 14 April 2017

Memberdayakan Tempat Sampah Organik dan Anorganik di Rumah

Sudah satu minggu ini tempat sampah di rumah terbagi menjadi dua bagian 'sampah organik' dan 'sampah Anorganik'.

Berawal dari ajakan di sekolah kakak. Kebetulan sekolah kakak adalah sekolah berbasis lingkungan dan alhamdulillah telah mendapatkan predikat dan penghargaan Sekolah Adiwiyata,  sekolah yang berbasis lingkungan, se kota Bogor.

Salah satu programnya kemudian ingin mengajak siswanya untuk menerapkan gaya hidup cinta lingkungan tidak hanya di sekolah namun juga diterapkan di rumah masing masing. Salah satunya dengan memisahkan sampah di rumah menjadi dua bagian, organik dan anorganik.

Sampah organik adalah sampah yang bisa mengalami pelapukan dan terurai menjadi bahan yang lebih kecil dan tidak berbau.  Contohnya adalah makanan dan daun.  Sampah ini kemudian dapat dijadikan pupuk atau kompos.

Sampah anorganik adalah sampah yang berasal dari produk non hayati dan tidak dapat diuraikan oleh alam (wikipedia.co.id). Contohnya adalah botol, plastik, kaleng.

Gerakan memilah sampah sebenarnya sudah pernah saya lakukan beberapa tahun yang lalu namun gagal, hanya bertahan beberapa lama dikarenakan :
1.Tidak ada dukungan keluarga
2.Terpatahkan oleh teori "nanti pas dikumpulin di tukang sampah juga disatuin ", jadi merasa sia sia.
3.Males ribet

Dukungan keluarga dan komitmen bersama itu sangat penting. Kalau cuma kita yg buang sampah secara terpisah sama aja bohong kan...  😉 Makanya waktu si kakak yang inisiatif bilang "Bunda,  kata bu guru tempat sampah harus dipisah". Waw seperti gayung bersambut dong,  keinginan saya dari dulu untuk memisahkan sampah minimal didukung satu anggota keluarga.  Lalu karena ini menjadi seperti sebuah pr dari sekolah,  mau ga mau ayah pun nurut. Sang adik justru semangat mensukseskan program ini,  karena fitrahnya adik selalu ikut ikutan kakaknya 😄 Bibi yang kerja di rumah otomatis menyesuaikan.

Langsung lah saya segera membeli satu buah tempat sampah lagi (selama ini cuma ada satu 😅). Mumpung ada instruksi dari sekolah segera laksanakan, karena anak anak lebih segan kalau tidak menuruti gurunya 😁.

Ribet iya, karena lebih enak kalau kita buang sampah ga pake mikir,  tinggal plung... Plung... Kalau sekarang saya inget inget dulu.. Ini dimasukkin ke sebelah kiri (organik)  atau kanan (anorganik)  ya..  Bahkan ada beberapa jenis sampah yang saya masih bingung masuk kemana,  misalnya kertas dan tisu. Karena kebingungan itu akhirnya bunda kembali mencari tahu mana yang termasuk organik dan anorganik. Usut punya usut, ternyata kertas itu sebenarnya masuk ke dalam sampah organik namun karena kertas dapat dimanfaatkan kembali menjadi bahan daur ulang jadi seringkali dimasukkan ke dalam anorganik. Jadi saat ini saya putuskan untuk memasukkan sampah kertas ke dalam sampah anorganik. Siapatau bisa dimanfaatkan kembali oleh pengelola sampah.

Oiya berbicara mengenai pengelolaan sampah pada akhirnya, sebetulnya saya juga ragu apakah sampah yang sudah saya pilah ini akan dipisah juga oleh Tempat Pengelola Sampah 'TPS'. Kezel ya kalo kita udah pilah ternyata ujung ujungnya disatuin juga. Tapi ya sudahlah yang penting kita sudah berusaha untuk yang terbaik. Semoga pemerintah pun berusaha yang terbaik apalagi kalau sudah melihat masyarakatnya berusaha yah 😊. Siapatau kalau ada pemulung yang lewat dan ambil sampah anorganik kita bisa dipakai untuk dimanfaatkan kembali.

Yang paling menarik dari pembiasaan memilah sampah ini adalah pendidikan bagi anak anak. Kakak dan adek sudah mengerti sedikit sedikit mana yang termasuk organik dan anorganik. Namun mereka seringkali masih bertanya "bunda, ini masuk kemana,  yang tempat sampah pink ya,  yang organik? ".. Lucu sekaligus bahagia melihat anak anak bisa berkembang menjadi anak anak yang peduli lingkungan.  Bahkan si adek yang mengingatkan bibi yang kerja di rumah,  "Bi,  sekarang tempat sampahnya udah dibagi dua ya. Kalau yang makanan dibuangnya kesini (sambil menunjuk tempat sampah pink) ". Bibi pun tersenyum.

Mengapa kita perlu memilah sampah? Agar sampah tersebut dapat dimanfaatkan kembali! Kalau kita menyatukan semuanya maka sampah anorganik akan rusak oleh sampah sampah organik dan tidak dapat dimanfaatkan kembali. Sampah anorganik diharapkan dapat didaur ulang,  dikelola kembali, misalnya menjadi karya karya kreatif. Di sekolah kakak misalnya, setiap murid diwajibkan untuk membuat barang kreatif seperti tas dari barang yang tidak terpakai. Kami pun memutuskan untuk membuat tas dari kardus susu yang memang sudah selesai kami gunakan. Dengan sedikit kreatifitas lalu kita tambahkan pernak pernik lain sehingga menjadi tas yang cantik.



Sampah organik tentunya diharapkan bisa menjadi pupuk. Kalau saya jujur belum bisa ke tahap ini,  hehe... Sekolah kakak sudah melaksanakannya. Di sekolahnya ada alat pembuat pupuk yang sengaja diadakan untuk mewujudkan sekolah peduli lingkungan, dengan mengelola sampah menjadi pupuk. Pupuk tersebut kemudian digunakan kembali untuk membuat tanaman tumbuh subur.

Bagi keluarga lain mungkin gerakan ini sudah diterapkan sejak lama. Tapi saya yakin masih banyak keluarga yang tidak menerapkannya. Ide memisahkan sampah mungkin terlihat berlebihan, terlalu idealis.  Untuk keluarga kami ini adalah permulaan (kembali). Tidak ada kata terlambat untuk semua perbuatan baik. Sejauh ini terlihat baik baik saja, semoga akan seterusnya menjadi kebiasaan baik selamanya.  Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar