Sabtu, 21 Januari 2017

Cerpen anak 'Om Bule dan Kereta Api'

Cerpen

Om Bule dan Kereta Api
Oleh Dela Posita

Liburan sudah berakhir. Sudah satu minggu lamanya Mia, mama dan kakak berlibur di rumah 
nenek. Saat liburan sekolah adalah saat saat paling menyenangkan bagi Mia karena dapat bermain dran bermanja ria bersama kakek dan nenek. Ya, rumah kakek dan nenek berada di kota yang berbeda 
sehingga Mia sulit bertemu dengan mereka. Hanya di waktu waktu tertentu seperti liburan sekolah inilah Mia dapat bertemu dalam waktu yang lama.
Mama sudah berkemas sejak kemarin. Hari ini Mia akan kembali ke Jakarta menggunakan kereta api. Mia cemberut dan bermalas malasan di kasur nenek. Berat rasanya untuk mengakhiri liburan ini dan meninggalkan nenek dan kakek. “Mia, hari ini kita harus pulang. Nanti kapan-kapan kita main lagi ke 
rumah nenek”, ucap mama. Mia hanya terdiam.

Ges.. ges… gess… suara kereta api sudah terdengar. Hiruk pikuk orang di stasiun kereta api 
sangat terasa. Sebenarnya Mia sangat menyukai bepergian dengan kereta api. Pemandangan sepanjang jalannya selalu membuat Mia terpesona. Sawah yang terhampar luas, pepohonan yang bergoyang ditiup 
angin, rumah dan kendaraan yang terlihat terlewat dengan cepat, hembusan angin dari luar gerbong yang menyegarkan…. Aahhh… berwisata dengan kereta api memang selalu menyenangkan. Apalagi berkendara dengan kereta terbebas dari kemacetan dan rasa mual seperti saat berkendara dengan bis. Karena itulah 
berwisata dengan kereta api selalu menjadi pilihan keluarga Mia.


Tapi tidak kali ini. Kereta Parahyangan yang akan dinaiki Mia dan keluarga kali ini adalah kereta malam. Pemandangannya sudah tentu gelap. Dan malam itu penumpang kereta tujuan Jakarta luar biasa padat. Belum pernah Mia melihat kereta sepenuh ini.

Satu tangan mama memegang erat tangan Mia. Sementara tangan satunya menenteng tas bawaan. 
Kakak yang sudah lebih besar berjalan di samping mama. Setelah mendapati gerbong sesuai tiket mama membawa Mia dan kakak ke dalam kereta. Hari itu penumpang membludak! Mungkin karena dua hari lagi liburan akan berakhir, dan anak-anak akan segera masuk sekolah.

Gerbong yang Mia naiki penuh sesak dengan penumpang. Banyak orang yang duduk di bawah lantai kereta. Sampai sampai Mama dan 
Mia harus berjalan pelan dan hati-hati. 

Semua tempat duduk sudah terisi. Tiga seat kursi yang seharusnya menjadi bagian mama, kakak dan Mia hanya tinggal tersisa dua. Yang satu sudah terisi oleh penumpang lain dengan beberapa anak yang usianya lebih kecil dari Mia. Mama pun memilih mengalah dan duduk dengan menggendong Mia.

Setelah menunggu beberapa lama akhirnya masinis menjalankan keretanya. Tiupan angin malam 
langsung terasa. Untungnya mama sudah mengenakan jaket dan kaos kaki untuk Mia dan Kakak. Mama 
memeluk Mia yang berada dalam pangkuannya. Mia memandangi sekitarnya. Jika biasanya satu jajaran kursi kereta api hanya diduduki oleh dua orang, kali ini kursi tersebut diduduki tiga sampai empat orang.

Semua penumpang duduk berdempetan. Anak-anak kecil banyak yang dipangku oleh orang tuanya. Yang tidak beruntung tentu saja duduk di lantai kereta api.

Ada yang menarik perhatian Mia. Diantara sesaknya penumpang, ada seorang pria asing, om bule 
yang duduk di bangku seberang Mia. Om bule terlihat santai duduk berdesakan. Dia pun memberikan 
senyuman pada Mia yang memandanginya. Mia mulai gelisah. Duduk di atas mama lama-lama membuatnya tak nyaman. Ingin sekali Mia bebas duduk sendiri. Om bule yang duduk di kursi seberang Mia tiba tiba saja menawarkan kursinya. 
Dengan bahasa Indonesia berlogat bahasa Inggris dia berkata, “Adek… duduk disini saja. Di sebelah saya masih ada tempat”. Mama memberikan izin dan Mia segera pindah duduk di sebelah om tersebut. Mia gembira. 

Pelajaran yang paling Mia sukai di sekolah adalah bahasa inggris dan Mia tak sabar untuk berbincang bahasa inggris dengan om bule tersebut. Sepanjang perjalanan Mia dan om bule sibuk bercerita, apa saja. Om bule bercerita tentang rumahnya, kegiatannya dan yang menarik om bule memiliki perkebunan dan peternakan kuda di daerah Jawa Barat. 

Mia membayangkan bagaimana asiknya berkuda. Sebenarnya om bule lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia karena dia sudah lama tinggal di Indonesia dan cukup fasih menggunakan 
Bahasa Indonesia. Namun Mia memberanikan diri untuk sesekali bertanya menggunakan bahasa Inggris. Meskipun Bahasa Inggris Mia masih terbata bata tapi om bule mau mendengarkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan Mia.

Om bule lalu mengeluarkan sebuah post card. Dia menuliskan sesuatu dan memberikannya pada Mia. Pada satu sisi kartu tersebut bergambar pemandangan keindahan hamparan kebun teh di daerah Jawa Barat. Sedangkan di sisi lain kartu tertulis sebuah alamat. “Ini alamat rumah om di Bandung. Nanti kapan-kapan kamu bisa kirim surat kesini”, om bule menerangkan. Mia tersenyum dan memegang kartu 
tersebut.

Perjalanan malam itu berubah menjadi sangat menyenangkan. Meskipun malam itu penuh sesak 
dengan penumpang tapi Mia merasa senang bertemu dengan om bule. Selain baik hati, om Bule 
memberikan pengalaman untuk meningkatkan kemampuan berbahasa inggris bagi Mia.

Angin semakin menusuk tulang, tanda hari semakin malam. Tiga jam sudah berlalu. Sebentar lagi 
kereta api akan sampai ke tujuannya, Jakarta. Selepas bercerita panjang lebar dengan om bule, Mia mengantuk dan tertidur di kursi sambil memegang erat kartu yang diberikan om bule.

Samar-samar Mia mendengar suara. Mama membangunkan Mia untuk bersiap-siap. Stasiun 
tujuan mereka akan segera tiba. Mama bilang papa sudah menunggu di stasiun untuk menjemput. Mia 
masih mengantuk dan terkejut kebingungan mencari-cari om bule yang sudah tidak ada di sampingnya. Namun kereta sudah berhenti. Terdengar pemberitahuan bahwa kereta sudah sampai di tujuan dan penumpang dipersilahkan turun.

Mama bergegas membawa mia dan kakak. Kali ini jalanan gerbong sudah lowong. Banyak penumpang yang sudah turun di stasiun sebelumnya.
Mia senang melihat papa. Mia dan kakak segera mencium tangan papa saat bertemu. Mama 
berhenti sesaat di stasiun untuk membeli beberapa makanan dan minuman. Peluit kereta api sudah 
dibunyikan. Kereta Parahyangan sudah mulai bergerak untuk pergi ke stasiun berikutnya. Mia tertegun, sambil memegangi post card. Mia tak bergeming dari tempatnya, terus memperhatikan kereta yang 
beranjak pergi. Mia masih berharap dapat melihat dan melambaikan tangan pada om bule. Tiba-tiba seorang bapak yang tadi juga duduk berdekatan dengan Mia berkata “Dek… om tadi sudah pergi… dia 
turun di stasiun sebelumnya.”. “Tadi adek tidur, jadi dia tidak mau membangunkan adek”, ujar bapak 
tersebut sambil tersenyum. 
Mia terkejut mendengar penjelasan si Bapak. Mia sedih karena belum sempat mengucapkan 
terima kasih dan salam perpisahan kepada om bule. Mia pun segera berbalik menghampiri mama. Dalam 
hati Mia berjanji akan segera mengirimkan surat kepada om bule. Mia akan menceritakan tentang teman-
teman, sekolah dan tentunya tak lupa berterima kasih atas kebaikan yang telah diberikan om bule.**
***

Senin, 02 Januari 2017

Cerpen anak 'Monyet Yaki' by Delapos

Monyet Yaki
Oleh Dela Posita

Namaku Tasya. Aku sangat menyukai binatang. Aku pernah memelihara berbagai binatang di
rumah dari mulai ikan, kelinci, ayam, burung, kucing dan anjing. Untungnya semua keluargaku dari mulai
papa, mama dan adik juga menyukai binatang sehingga kami bisa memeliharanya bersama sama dan
bergantian.

Mama dan papa memperbolehkan aku memelihara binatang jika aku mau mengurus mereka
dengan baik. Aku dan adik bergantian memberikan makanan pada mereka, tapi tentu saja mama dan papa
yang lebih banyak mengurusnya. Papa bertugas menyiapkan makanan dan membersihkan kotoran,
sedangkan mama membantuku memberikan makanan dan mengobatinya jika sakit. Menurut mama,
binatang adalah ciptaan tuhan yang harus dijaga dengan baik. Mereka tidak hanya butuh disayang namun
juga harus diberi makan yang baik, dijaga kebersihan dan kesehatannya.
Suatu kali aku pernah bertanya pada mama punya cita-cita apa? Sambil tersenyum mama
menjawab ingin memiliki tempat konservasi binatang, tempat menjaga dan melestarikan binatang.
Binatang-binatang yang dilindungi dan hampir punah akan dibantu diobati jika terluka dan dikembalikan
lagi ke alam tempat tinggalnya. Mama memang pecinta binatang. Mama seringkali menceritakanku kisah-
kisah binatang, binatang apa saja yang dilindungi dan apa saja yang bisa kita lakukan untuk melindungi
binatang.

Di daerah asalku di Minahasa, Sulawesi Utara, banyak sekali binatang endemik, yang hanya ada
di satu daerah, langka dan dilindungi. Salah satunya adalah monyet Yaki. Dari seluruh dunia, Yaki hanya
ada di daerah Sulawesi Utara, Indonesia. Maka itu mama bilang kita sebagai orang Indonesia, khususnya
Minahasa harus bangga memiliki Yaki dan harus menjaganya. Menurut mama, Yaki sudah hampir punah
karena banyak diburu manusia untuk dipelihara dan dijadikan makanan.

Masyarakat kami, Minahasa,
memang telah memiliki budaya untuk memakan daging monyet yaki sejak lama namun aku sendiri belum
pernah memakannya, bahkan aku belum pernah melihat secara langsung monyet Yaki ini. Mama hanya
sering memperlihatkanku gambar monyet Yaki ini dari internet.
Monyet Yaki memiliki ciri yang sangat khas dibandingkan monyet lainnya. Selain bentuk
mukanya yang khas dan rambutnya yang hitam lebat, monyet yaki memiliki warna merah muda
berbentuk hati pada bagian pantatnya. Hmmm… aku jadi penasaran untuk melihatnya langsung…
**
Siang ini matahari sangat terik. Namun pohon-pohon nyiur yang berada di sekitar kami banyak
memberikan angin sejuk. Daerah Minahasa memang terkenal dengan sebutan ‘Nyiur Melambai’, itu
karena banyak sekali tumbuh pohon nyiur, atau yang biasa kita sebut sebagai pohon kelapa, tumbuh subur
di daerah kami. Jarak dari sekolah ke rumahku memang tidak terlalu jauh sehingga aku terbiasa pulang
berjalan kaki bersama teman-teman.

Perjalanan berjalan kaki terkadang memang terasa berat di saat cuaca
panas seperti ini, untungnya aku selalu ditemani teman-teman.
“Tasya, ngana so dengar rumah misteri di ujung jalan sana?”, “Mari jo torang liat”… salah satu
temanku, Alan mengajak kami untuk pergi mampir ke sebuah rumah. Menurut orang-orang rumah di
ujung jalan tersebut sangat besar dan indah, namun sangat misterius. Jarang terlihat orang yang keluar
masuk. Di sepanjang tembok rumahnya tumbuh tanaman dengan bunga-bunga yang indah. Menurut Alan
dia pernah melihat sebuah pintu masuk di bagian belakang rumah tersebut. Suatu kali pintu tersebut
sempat terbuka dan terlihat halaman yang sangat luas dipenuhi berbagai macam pepohonan. Salah
satunya pohon matoa. Matoa adalah buah khas dari daerah Sulawesi Utara. Buah ini sangat unik karena
memiliki rasa yang berbeda beda. Satu buah matoa bisa terasa seperti durian, tapi buah matoa lainnya bisa
terasa seperti buah leci. Unik bukan… Matoa adalah buah kebanggaan dan kesukaan kami. Matoa hanya
berbuah musiman, dan saat ini sedang musim panen matoa. Alan mengajak kami pergi ke rumah
misterius itu. Siapatau kami beruntung mendapatkan beberapa buah matoa yang jatuh ke luar rumah.
**
Sesampai di rumah Brown anjingku sudah menunggu. Brown berwarna coklat keemasan, itu
sebabnya kami beri nama ‘Brown’. Besarnya setengah dari tinggi tubuhku. Dia mengibas-ngibaskan
ekornya karena senang melihat kedatanganku. Aku mengelus kepalanya. Di meja makan mama sudah
menyediakan makan siang kesukaanku, ikan rica dan sayur kangkung. Aku segera meletakkan sepatu dan
mengganti baju seragamku. Setelah mengganti pakaian dan mencuci tangan segera ku santap makan siang
buatan mama. Sadaaappp…
“Ma, Tasya mau main ya deng tamang-tamang”, izinku pada mama untuk bermain bersama
teman. “Panas ini Tasya. Sore jo…”. Mama melarangku main siang ini. Cuaca siang ini memang sangat
panas. Tapi mama sudah memberikan izin untuk main sore nanti.
Aku tak bisa tidur. Terkadang di siang hari aku tidur. Tapi kali ini aku tak bisa. Aku tak sabar
untuk melihat rumah misterius yang diceritakan Alan tadi. Pr Matematika untuk esok sudah aku
selesaikan. Tak lupa segera kusimpan di tas sekolah untuk esok hari. Aku bergegas mandi untuk pergi
bermain bersama teman-teman.
Aku, Alan, Roni, Glori dan Brown anjingku sudah berkumpul. Mama memintaku mengajak serta
Brown bermain. Anjing memang butuh diajak bermain. Biasanya pagi atau sore hari kami mengajaknya
berkeliling meski hanya memutari lorong-lorong di komplek rumah kami. Sore ini Brown sangat
bersemangat. Dia mengibas-ngibaskan ekornya terus menerus. Sepertinya dia tahu akan berpetualang
bersama kami.

Rumah misterius itu memang bagus. Letaknya tak terlalu jauh dari rumah kami. Hanya ada
beberapa rumah di sekitarnya dengan jarak yang berjauhan. Sisanya dipenuhi oleh kebun-kebun yang
ditanami pepohonan yang tinggi. Rumah tersebut terlihat mencolok di bandingkan sekitarnya. Rumah dua
lantai dengan desain yang megah. Bagian bawahnya tidak terlihat jelas karena tertutup oeh gerbang dan
tembok yang tinggi. Hanya terlihat pilar yang besar dan kokoh dari lantai satu. Namun kami dapat melihat
bagian lantai dua rumahnya yang megah.

Rumah ini memang sangat luas seperti yang dikatakan Alan. Pasti pemiliknya adalah orang yang
sangat kaya. Kami harus berjalan agak jauh mengitari tembok rumahnya hingga sampai di bagian
belakang. Rumah itu tampak sepi, terlebih pada bagian belakangnya. Kami tidak dapat meilhat bagian
dalam rumahnya karena pintu bagian belakang rumah itu tertutup.
Brown terus berlari menyusuri tembok. Aku mengikutinya sementara teman-teman masih berada
di sekitar pintu belakang. Brown mengendus-ngendus bagian tembok yang dirambati tanaman. Brown
masuk ke dalam tanaman tersebut dan menghilang!
“Brown… Brown…!”, aku memanggilnya. Tapi tak ada jawaban. Aku segera berlari menemui
teman-teman. “Brown masuk ke dalam rumah. Ada tembok yang bolong di sebelah sana!”, aku
memberitahukan teman-teman. Langsung saja kami berlari menuju tembok tersebut. Bagian bolong
tersebut tertutupi daun-daun yang merambat dan besarnya hanya seukuran tubuh Brown. Kami pun segera
memutuskan untuk mencari Brown dan memasuki tembok bolong tersebut. Glori nampak ragu-ragu.
Kami tahu memasuki rumah orang tanpa permisi adalah perbuatan yang tidak baik, tapi kami harus
menemukan Brown.
Alan dan Roni memasuki rumah tersebut dengan merangkak. Aku sudah bersiap sementara Glori
masih celingak-celinguk melihat sekitar. “Mari jo Glori… ngana mau sandiri di sini?”, tanyaku. Glori pun
memutuskan ikut karena tidak ingin sendiri di depan rumah. Aku dan Glori merangkak pelan-pelan.
Kami sampai di sebuah halaman yang sangat luas. Banyak pepohonan disana. Alan dan Roni
sudah lebih dulu sampai dan menunggu. Kami pun mulai menyusuri halaman tersebut. Ada beberapa
kandang burung disana. Burung-burung di dalamnya cantik, memiliki berbagai warna yang menarik.
Kami kemudian melewati beberapa pohon matoa. Meski sudah muncul beberapa buah di pohonnya, aku
tak sempat untuk memikirkan atau bermaksud mengambilnya. Aku hanya ingin segera mencari Brown.
Guk.. guk.. Itu dia suaranya! Kami segera mencari arah suara itu. “Brown…”, sekali lagi
kupanggil anjingku, kali ini dengan suara yang pelan. Aku takut sekali pemilik rumah mengetahui
keberadaan kami. “Brown!”, aku berteriak kecil setelah menemukanya. Kami semua lega. Entah apa yang
dilakukan Brown disini. Kami memutuskan untuk segera keluar dari rumah tersebut.
Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah pohon besar di sekitar kami. Ada sekor monyet yang diikat
di pohon itu. Hei, sepertinya aku tidak asing dengan monyet ini. Aku perhatikan baik-baik, dan… ya
benar! Ini adalah monyet yaki yang sering diceritakan mama. Bulunya yang lebat dan hitam, dan
memiliki warna pink di bagian belakangnya.
Monyet itu terikat oleh tali yang pendek sehingga dia sulit bergerak. Dia berusaha bergerak ke
kiri dan ke kanan, namun tampak sulit baginya. Tali itu menahannya. Monyet itu tampak kurang terawat.
Bulu rambutnya agak kusam dan kotor. Kasihan, monyet ini juga terlihat sedih.
“Tasya! Mari jo…”, Glori menarik tanganku. Kami bergegas untuk keluar dari rumah itu dengan
langkah cepat. Hufff… lega rasanya kami bisa keluar dari rumah itu. Kami beruntung sang pemilik rumah
tidak menyadari keberadaan kami.
Matahari mulai tenggelam ketika aku sampai di rumah. Aku segera mengganti bajuku yang kotor
terseret tanah di rumah tadi. Selepas makan malam aku menghampiri mama. “Ma, monyet yaki itu boleh dipelihara?”, tanyaku. “Ndak boleh Tasya. Mama so carita toh hewan liar itu lebih baik tinggal di alam
bebas”, ujar mama. Aku pun bercerita tentang pertemuanku dengan monyet yaki yang malang tadi. “
Tasya yakin itu monyet Yaki?! Nyandak salah lihat??”, kali ini mama bertanya dengan serius. Aku
menjelaskan semua ciri-ciri monyet tadi. Aku meyakinkan mama kalau aku berkata jujur.
**
Satu minggu sudah berlalu sejak kami melewati rumah misteri itu. Aku masih memikirkan nasib
monyet yaki. Mama bilang monyet yaki itu hidup berkelompok dengan teman-temannya. Sehingga lebih
baik dia tinggal di hutan, bermain bersama keluarga dan teman-temanya, bukan terikat di rumah itu.
Sepulang sekolah aku melihat ada mobil di depan rumah. Ada tamu siapa ya.. Kulihat di dalam
ada beberapa orang berseragam. Apa mungkin itu teman mama? Aku berjalan masuk pelan-pelan sambil
mengucapkan salam. “Nah, ini Tasya…”, mama memperkenalkanku pada bapak berseragam . Mama
menjelaskan bahwa Bapak tersebut adalah petugas konservasi dari pemerintah. Kedatangan mereka ke
rumah kami adalah untuk berterima kasih padaku. Aku bingung. Kenapa mereka mau berterima kasih
padaku?
Mama kembali menjelaskan bahwa saat aku bercerita mengenai monyet yaki di rumah misteri,
mama segera melaporkannya ke petugas yang berwenang menangani hewan langka. Rupanya bapak
petugas tersebut telah memeriksa rumah misteri yang aku ceritakan. Dan benar saja, ada monyet yaki
disana. Mereka segera mengamankan monyet yaki untuk dibawa ke tempat konservasi, dimana hewan-
hewan yang dilindungi dirawat untuk dikembalikan ke habitatnya nanti. Selain monyet yaki, petugas
tersebut juga mengambil hewan-hewan lainnya yang ada di rumah tersebut, diantaranya beberapa jenis
burung yang juga dilindungi.
 Bapak petugas memperlihatkanku beberapa lembar foto saat pengambilan monyet yaki dari
rumah misteri tersebut. Mereka berterima kasih karena aku sudah memberikan informasi keberadaan
monyet yaki. Monyet yaki ini termasuk binatang yang dilindungi sehingga tidak boleh dipelihara. Aku
tersenyum senang. Lega sekali rasanya monyet itu sudah berada di tempat yang aman. Aku yakin monyet
yaki pun saat ini sedang tersenyum karena sudah bebas dari ikatan itu dan dapat segera bertemu dengan
teman-temannya.**